Sabtu, 10 Desember 2011

Gadis Bermata Coklat (Cerpenku yang lolos Lomba Menulis Cerpen Rohto 2011)


GADIS BERMATA COKLAT

Aku mengenalnya sebulan lalu di laboratorium. Namanya Aisya  Hamed, seorang gadis asal Slovenia. Dia sedang mengambil S3. Walaupun aku tengah menyelesaikan gelar masterku, kami sangat sering bertemu. Pertama, karena supervisor kami sama, kedua, laboratorium kami berada di kompleks yang sama, dan yang ketiga, dan ini yang paling penting,  tugas akhir kami mengambil tema yang sama, bagaimana menyembuhkan penyakit melalui rekayasa genetika. Untuk yang terakhir ini merupakan kebetulan yang sangat kusyukuri. Jadilah kami sering bertemu, baik secara tidak sengaja maupun pertemuan yang sengaja kami atur karena kami perlu tukar-menukar informasi untuk tesisku dan disertasinya. Satu hal yang mencuri perhatianku, dia memakai jilbab lebar seperti yang kulihat pada perempuan aktivis dakwah di kampus-kampus di Indonesia.
Hari ini adalah jadwal kami bertemu di laboratorium. Aku datang ketika hari masih pagi. Musim panas membuat  matahari muncul lebih cepat. Sehingga suasana yang cukup terik bukan berarti orang akan beraktivitas karena jam menunjukkan kalau hari masih pagi. Waktu pun berjalan begitu cepat. Sampai sore hampir datang tak kulihat gadis itu. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku begitu gelisah tidak melihatnya seharian ini.
Di koridor lab, aku bertemu dengan Fatima, teman senegaranya. Mereka sama-sama mahasiswa Ph.D. Dengan mereka komunikasiku cukup lancar karena mereka mahasiswa kelas internasional sehingga kami menggunakan Bahasa Inggris, bukan Bahasa Belanda.
“Assalamu’alaikum…Fatima apa kabar? Lho, kok sendirian? Aisha mana?”  tanyaku tanpa bisa menyembunyikan rasa penasaran.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulilah aku baik-baik. Oh ya Aisha tidak masuk hari ini. Dia sakit. Kamu sendiri bagaimana kabarnya Rahman?“  tanyanya.
“Alhamdulilah aku sehat-sehat. Aisha sakit? Sakit apa dia?“ aku semakin penasaran.
“Aku juga belum tahu. Aku baru berencana menjenguk sore ini, sepulang dari lab. “
“Aku bisa ikut ?“ secara spontan kalimat itu terlontar dari mulutku. Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba aku punya pikiran ingin menjenguk gadis itu. Atau jangan-jangan secara diam-diam aku sering memikirkan gadis itu sehingga baru satu hari saja dia tidak masuk, aku begitu mengkhawatirkannya. Entahlah. Tapi yang jelas dia sangat baik padaku. Dia banyak  membantuku menyusun tesisku. Dia tidak hanya cantik, untuk hal yang satu ini aku tidak bisa membohongi diri sendiri, cerdas tapi juga sangat baik padaku. Bahkan bisa kukatakan dia selalu ada saat kubutuhkan, tentu saja yang berkaitan dengan assignment, tesis dan berhubungan dengan kuliah secara umum.
Satu hal yang tidak kumengerti, aku sering salah tingkah saat bertemu dengannya. Mungkin karena caranya memperlakukanku, barangkali juga setiap orang yang berinteraksi dengannya, beda. Sangat perhatian, ramah dan membuat lawan bicaranya merasa diperlukan khusus olehnya. Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan hal yang terakhir ini, tapi yang jelas dia membuatku merasa istimewa di depannya. Atau barangkali perasaan itu hanya karena ke-GR-an ku saja. 
Namun hal lain  yang membuatku tidak habis pikir,  saat dia menanyakan apakah aku punya pacar, aku tidak pernah bisa bercerita yang sesungguhnya padanya. Aku tidak tahu mengapa aku ingin dia melihatku sebagai pria bebas yang masih available dan bisa dimiliki. Walau sesungguhnya aku tidak benar-benar bebas. Aku mempunyai pacar, ah bukan, aku tidak setuju dengan penyebutan kata ‘pacar’ karena kami memang tidak pacaran. Dan perempuan yang kumaksud itu  juga tidak mau dipacari, dia hanya mau dinikahi. Namanya Salwa. Kami memang dekat, keluarga kami sudah saling kenal. Dia keturunan Arab. Aku ingin serius padanya, tapi dia tidak mau dipinang kalau setelah itu  ditinggal kuliah ke Belanda. Akhirnya sebelum berangkat ke Belanda untuk menyelesaikan S-2 ku, kami  berjanji untuk saling menunggu. Sepulang aku dari Belanda aku akan melamarnya dan kami menikah. Kami juga sepakat untuk membatasi komunikasi karena kami memang sama-sama tidak setuju dengan istilah ‘pacaran’. Apa bedanya dengan pacaran kalau belum ada ikatan apa-apa kami sudah dekat dan berkomunikasi secara intens seperti layaknya orang berpacaran. Jadi aku tidak sepenuhnya berdusta pada Aisya kalau aku bilang aku tidak punya pacar, karena memang betul ‘kan aku dan Salwa tidak pacaran?. Entahlah. Mungkin juga itu adalah alasan pembenar akan sikapku, atau jangan-jangan aku sudah kerasukan virus pindah ke lain hati?
“Iya boleh. Tapi aku mampir-mampir dulu. Nanti Rahman kelamaan menunggu. Gini saja, kuberi alamat dan direction-nya. Insya Allah kamu nggak akan nyasar,“ suara Fatima mengagetkanku.
“Eh..iya, tidak apa-apa,” jawabku sedikit gugup.
            Fatima lalu mengambil kertas, menulis alamat Aisha dan membuat peta kecil di bawahnya. Dia pun menjelaskan panjang lebar. Aku megangguk-angguk tanda mengerti. Aku terbiasa kemana-mana naik tram atau metro dan bersepeda, jadi aku yakin tidak akan sulit menemukan tempat tinggal Aisha.
            Kami pun berpisah. Kumasukkan dalam saku jaketku kertas yang baru saja diberikan Fatima. Aku berencana kesana sepulang kuliah. Tapi lihat sikon, kalau aku tidak capek. Musim panas kali ini membuatku mudah sekali lelah.

            ****

            Mataku jelalatan mengamati nomor rumah di  kompleks perumahan elit di pinggiran kota Rotterdam. Yess !!! Akhirnya aku menemukannya. Rumah nomor 19 itu kelihatan asri dengan bentuk rumah yang khas rumah Belanda, bedanya kali ini adalah rumah yang biasa dimiliki orang-orang kaya Belanda, luas, tamannya hampir mengelilingi rumah, elegan dan menampilkan kesan mewah dan tentu saja green. 
Sejenak aku ragu. Banyak mobil di depannya. Sepertinya banyak tamu. Waduh, jangan-jangan mereka semua datang menjenguk Aisha. Sakit apakah gerangan dia hingga yang besuk sedemikian banyaknya. Dari kejauhan kuamati rumah itu. Mereka yang datang kebanyakan berwajah Arab, hanya beberapa yang berwajah bule. Beberapa orang tampak keluar rumah dan berjalan menuju mobil. Mereka membawa dus, sepertinya dus kue atau makanan sejenisnya. Aku meralat dugaanku, mungkin baru saja ada pesta. Beberapa orang sudah hendak pulang. Wajah mereka semua ceria, mungkin yang sedang digelar adalah pesta pernikahan atau syukuran dan semacamnya.  Di dalam masih banyak tamu yang berkumpul karena terdengar suara tertawa-tawa. Melihat situasi itu aku mengurungkan niat untuk menjenguk Aisha hari ini, mungkin aku akan mencoba datang lagi besok.
“Rahman, kok aku lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun? Kamu kenapa?” tanya Fathan teman seapartemenku.
Aku hanya menggeleng.
“Masak sih ? Nggak tuh. Aku merasa biasa-biasa saja.”
“Dandananmu juga agak beda. Kamu kelihatan lebih tampan akhir-akhir ini. Kamu sedang falling in love ya?”
Aku terkejut. Tidak pernah aku memperhatikan dandananku. Apa benar aku dandannya beda? Perasaan biasa-biasa saja dan tidak ada yang berubah. Tapi mungkin Fathan benar. Entahlah.
Sampai Aisha sembuh dan masuk kembali ke kampus aku tidak pernah menjenguknya. Ada saja hambatannya ketika aku ingin ke rumahnya. Tapi setidaknya aku sudah tahu tempat tinggalnya, jadi kapan pun aku perlu aku bisa ke rumahnya. Seperti hari ini. Aku merasa aku harus menemuinya. Ada yang ingin kukonsultasikan tentang tesisku. Kebetulan dia tidak ada jadwal ke kampus, makanya aku ingin menemuinya di rumahnya.
Tiba di rumahnya suasana tampak sepi. Maklum hari itu adalah hari efektif jadi semua orang sibuk di tempat kerjanya masing-masing. Ketika kupencet bel, terlihat seorang pria paruh baya berwajah Arab yang membukakannya.
“Assalamu’alaikum…bisa bertemu dengan Aisha?“
“Wa’alaikumsalam. Iya, silakan masuk.“ Pria itu yang ternyata cukup fasih berbahasa Inggris dengan ramah mempersilakan aku masuk.
  “Tunggu sebentar ya, Aisha masih keluar. Mungkin sedang belanja di Albert Heijn”
Aku mengangguk. Wah dimana ya tempatnya. Aku tidak melihat ada supermarket di dekat rumah Aisha. Kalau Albert Heijn letaknya agak jauh. Mungkin satu kilometer dari rumah Aisha. Kalau benar kesana bakal lama nih nunggunya. Tapi aku bisa mengerti kalau dia bela-belain kesana, karena Albert Heijn memberi fasilitas lengkap yang memahami keinginan konsumen yang beraneka ragam. Di supermarket itu ada halal corner, yaitu stan khusus yang menyediakan segala macam bentuk makanan dan bahan makanan yang memiliki sertifikat halal dari sebuah lembaga sertifikasi halal Eropa.
Sambil menunggu Aisha, kami ngobrol kesana kemari.
“Kamu sudah berapa lama tinggal di Belanda?“ tanya lelaki di depanku yang ternyata kakak kandung Aisha. Dari obrolan kami, kuketahui namanya Zain.
“Satu tahun saja. Sebentar lagi saya selesai. Sekarang sedang menyelesaikan tesis.“
“Kamu tinggal dimana di Indonesia?”
“Di Solo. Om pernah ke Indonesia?”
“Pernah. Satu kali. Di Bandung. Salah satu saudara kami ada yang menikah dengan wanita Indonesia. Mereka sekarang tinggal di Bandung“
“Ooo..begitu.” Aku sedikit surprise.
“Oh ya, tadi kamu tidak nyasar menemukan tempat ini?”
Aku menggeleng.
“Saya sebenarnya sudah pernah ke sini, ehh..maksud saya hendak main ke rumah ini beberapa hari lalu. Tapi ternyata ada acara kalau nggak salah.“
 “Oh ya benarkah ? Kenapa tidak masuk?” tanyanya ingin tahu.
“Iya Om. Saya lihat sedang ada acara keluarga. Jadi saya tidak ingin mengganggu.“
“Ooo..maksudmu acara beberapa hari lalu itu? Kami sedang syukuran. Adik Aisha yang bungsu menikah.“
Aku hanya manggut-manggut. Dia menghela nafas agak berat seperti ada yang dipikirkannya.
“Kalau boleh jujur, saya suka kepikiran pada Aisha. Dia belum juga punya calon. Padahal usianya sudah cukup. Saya sebenarnya sangat ingin dia menikah secepatnya. Apalagi yang dia tunggu. Pendidikan sudah lumayan, karir sudah bagus dan usia juga sudah cukup. Ayah  sudah tiada. Aku belum tenang kalau dia belum menikah. Dia butuh figur yang bisa memimpinnya.“
“Mungkin belum ketemu yang cocok, Om.” Aku memberi tanggapan setengah berbasa-basi. Aduh sebenarnya pas sekali pertemuan kita seandainya aku belum punya calon. Ah mengapa aku berpikiran seperti itu. Segera kutepis angan kosongku itu.
Kami masih asyik ngobrol dan aku sangat ingin mengetahui lebih jauh tentang Aisha ketika gadis itu tiba-tiba muncul. Ternyata kakak  Aisha orang yang sangat menyenangkan. Sejak kuliah di Belanda, Aisya tinggal dengan keluarga kakaknya itu. Zain mempunyai dua orang anak yang masih balita yang semuanya dekat dengan Aisha.
Kalau aku boleh sedikit GR, gadis itu senang sekali ketika melihatku. Ah andai saja dia tahu bahwa aku juga sangat senang bertemu dengannya. Kami pun kemudian terlibat pembicaraan serius, apalagi kalau bukan membicarakan tugas akhir kami. Hari itu aku pun senang sekali. Aku dapat kemajuan berarti dari tesisku. Aisha banyak membantu tentang data-data dan informasi terbaru yang kubutuhkan.
“Thanks ya kamu udah tag aku di note-mu terbaru,“ kata Aisha. Aku memang baru saja upload hasil penelitianku tentang inti sel. Penelitian yang kulakukan sewaktu masih di Solo.
“Iya, sama-sama. Tanpa ku-tag pun kamu bisa kok baca note-ku. Kan kita temenan di facebook,“ kataku datar.
“Iya sih. Tapi aku jarang punya waktu untuk facebook-an. Oh ya, kenapa kamu nggak mencoba menulis di jurnal untuk publikasi?“ tanyanya.
Aku hanya tersenyum.
“Aku belum merasa perlu melakukan publikasi. Aku ‘kan bukan mahasiswa S3 sepertimu.“
Dia tertawa. Selama ini kulihat dia selalu sibuk dengan target publikasi di jurnal internasional karena ia ingin kuliahnya selesai sesuai jadwal.
“Kamu harus mikir jauh ke depan. Kalau kamu banyak menulis, siapa tahu akan mudah mendapatkan beasiswa S3.“
“Emang kamu pikir aku ingin S-3?”
‘Emangnya nggak?”
Seperti dikomando kami tertawa bersamaan. Aku tahu dia gadis yang idealis. Lama-lama sepertinya aku ketularan idealismenya. Dia selalu memandang aku mahasiswa yang cerdas dan kandidat mahasiswa S3 yang berpotensi. Padahal aku tidak pernah memikirkan hal itu sedikitpun. Yang kuinginkan adalah segera selesai kuliah lalu menikah.
“Oh ya aku di-add sama cewek yang namanya Fatkhiya. Aku approve. Ehh ternyata dia adik kandung kamu ya. Kami kirim-kiriman inbox. Jadi setiap aku buka FB kami selalu membahas banyak hal di inbox.“
Aku terkejut sekali. Waduhh apa yang dilakukan anak itu. Jangan-jangan adikku yang satu itu sedang memata-mataiku.
“Ka..kamu…dengar apa saja tentang aku darinya?“ tanyaku setengah gugup.
Dia malah tertawa.
“Kok kamu takut sekali. Nggak kok. Dia nggak cerita apa-apa. Dia jarang nyeritain kamu, kalau pun cerita selalu yang baik-baik.”
“Oh ya, benarkah ? Apa misalnya yang baik-baik itu?” aku masih penasaran. Fatkhiya memang cukup dekat denganku. Dia adalah adik yang paling kusayangi.
“Kamu orangnya pinter, Dan selalu juara kelas sejak SD sampai kuliah. Luar biasa ya. Trus dia juga bilang…” Aisha menghentikan kalimatnya.
“Dia juga bilang apa?“ aku tidak sabar mendengar kelanjutan kalimat itu.
“Dia juga bilang kalau …orang sepertiku yang pantas menjadi istrimu… “
Aku membelalakkan mataku. Tidak bisa kupercaya anak itu mengatakan itu. Dia memang kurang setuju ketika aku memberikan janji pada Salwa. Alasannya sederhana. Aku masih ingat ketika dia mengatakannya.
“Biar kalau kakak kecanthol bule Belanda yang cakep nanti kakak bisa langsung menikahinya. Hareee gini siapa yang mau percaya dengan ‘janji untuk menikah’ tanpa ada ikatan jelas. Emang kakak percaya kalau gadis secantik Mbak Salwa tidak banyak yang naksir. Secara posisi kakak pasti akan kalah sama orang yang datang padanya dan langsung membawa Mas Kawin untuk menikahinya. Sedangkan Kakak? Posisi nggak jelas, dan harus menunggu sampai batas waktu yang nggak jelas juga. “
Aku masih ingat ketika itu aku marah-marah padanya.
“Posisi nggak jelas bagaimana maksudmu? Emang aku hilang di hutan?. Enak saja kalau ngomong. Jelas-jelas aku kuliah di Belanda, 1 tahun, untuk meraih masa depan yang lebih baik. Susah-susah gini juga demi calon istri dan anak-anakku kelak. Apanya yang nggak jelas? Pikiranmu ‘tuh yang nggak jelas“ 
Melihat aku marah dia bukannya takut malah cekikikan.
“Waduh-waduh jangan marah gitu dong Abangku Sayang. Maksudnya Fatkhiya biar Kakak itu berpikir yang pasti-pasti sajalah. Nggak usah beri janji. Kalau kakak pulang dari Belanda nggak ada bule yang nyangkut, trus Mbak Salwa masih ‘available’ ya kakak nikahi dia. Kalau dia nggak mau, ya segera cari yang lain. Aku siap kok jadi ‘marketing’ Kakak. Hehehe”
Mendengar itu aku hanya cemberut karena tidak ada gunanya memarahi dia. Memang sudah dari sononya gayanya seperti itu.
“Rahman, kamu sepertinya nggak suka adikmu berkata begitu,“ suara lembut Aisha memaksaku memandang ke arahnya. Agak lama. Karena sebenarnya pikiranku masih pada ingatanku akan pembicaraanku dengan Fatkhiya. Tanpa kusadari aku menatap bola mata gadis itu. Aku baru sadar kalau warnanya coklat mengkilat.
“Hhhmm… apa tadi kamu bilang?”
“Jadi kamu melamun dari tadi dan tidak mendengarkan pembicaraanku? Ya sudah lupakanlah.” Kulihat ada  nada kecewa di wajahnya. Buru-buru aku menepis kalimatnya.
“Nggak kok. Aku suka saja. Dia memang sangat sayang padaku dan ingin aku mendapatkan yang terbaik.“
Kulihat dia tersipu malu.

*******

Sejak hari itu aku semakin dekat dengan dia dan keluarganya. Dan aku mulai tidak tenang. Di satu sisi aku bahagia punya teman baru yang baik, juga keluarganya. Tapi di sisi lain aku dihantui rasa bersalah pada Salwa. Aku bahkan sering mimpi buruk. Dan sering terbangun dengan gelisah. Seperti mimpiku beberapa malam terakhir ini. Aku dimaki-maki sama Salwa dan Aisha sekaligus. Lalu keduanya pergi meninggalkanku terpuruk dalam rasa bersalah yang tidak berkesudahan.
Di tengah kebimbanganku aku mengalami hal yang sangat mengejutkan. Suatu ketika aku ke rumah Aisha karena data yang diberikannya ditolak mentah-mentah oleh supervisor-ku, katanya informasi itu tidak valid, padahal itu data yang menurutku penting untuk menguatkan kesimpulan tesisku. Tapi gadis itu tidak ada di rumah. Zain kakaknya seperti biasa mempersilakanku masuk. Kami ngobrol seperti sebelumnya.
“Rahman, aku tengah memikirkan sesuatu. Kalau kamu setuju aku akan senang. Tapi kalau kamu tidak setuju, ya tidak apa-apa. “
“Tentang apa itu Om? “
“Apa kamu sudah punya calon istri? Kalau belum, aku ingin menjodohkanmu dengan Aisha. Kalau sudah punya, ya sudah nggak apa-apa.“ ringan saja Om Zain menyampaikan kalimatnya.
Respek kupandang orang itu lekat-lekat. Jujur aku sangat terkejut dan tidak menyangka. Dia tampak salah tingkah. Segera kualihkan pandanganku ke arah lain.
“Apa Om sudah membicarakannya dengan Aisha?“
Aku berharap jawabannya sudah. Tapi ternyata aku salah.
“Ya belum sih. Tapi aku mudah membujuknya kalau kamu memang bersedia. “
“Bagaimana kalau dia tidak setuju?” tanyaku tanpa memikirkan apa aku memang benar-benar setuju dengan ide .
“Apa kamu tidak bisa merasakan apakah dia menyukaimu ataukah tidak?” Bukannya jawaban yang dia berikan malah balik bertanya yang membuatku gugup.
“Ya sudah Om. Saya akan memikirkannya dulu. “ jawabku tanpa bertanya lebih jauh juga tanpa memberi informasi sedikitpun tentang calon istriku, Salwa.
Aku menyampaikan hal itu pada Fathan yang dengan antusias memberi respon.
“Ya sudah terima saja. Kamu ini beruntung banget ya. Aku yang pingin bawa pulang bule untuk jadi menantu ibuku, ehh satu pun nggak ada yang nyanthol. Aku setuju kamu sama dia. Perbaikan keturunan. Malah kalau beruntung nanti anak-anakmu bisa jadi artis di Indonesia. Pasti sebagai orang tua nebeng ikut terkenal kalau anaknya jadi artis. Diwawancarai sana-sini.”
“Waduh, kamu ini dimintai pendapat malah ngelantur mikirnya.”
“Lha iya kan? Semua itu bisa saja terjadi. “
“Trus Salwa bagaimana ?”
“Kamu kontak dia untuk memastikan kalau dia masih setia padamu. Kalau dia sudah tidak sabar menunggumu, ya udah kamu sama Aisha saja. “
“Nggak ah. Ngapain aku hubungi dia. Sudah jelas perjanjian kami. Kalau dia tidak menghubungi ya berarti semua baik-baik saja dan rencana dijalankan seperti  semula. “
“Ya sudah kalau pendapatmu begitu. Itu sih saran saja kalau diterima”
Setiap malam aku semakin gelisah. Mimpi yang lebih buruk dari sebelumnya sering menghantuiku. Tidak tahan didera rasa bersalah pada Salwa akhirnya aku memberi jawaban tidak pada Om Zain walau hatiku menjerit saat mengatakannya. Bagaimana tidak, jauh di lubuk hatiku, Aisha punya tempat istimewa yang membuat aku melayang seperti di atas awan setiap kali bersamanya. Seperti orang yang sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Saat kuceritakan hal itu pada Fathan dia terlihat sangat menyesalkan keputusanku.
“Ya sudah kamu sabar saja. Kalau lihat tampang sih kamu emang potongan punya istri bule. Tapi kalau lihat nasib, kayaknya kamu nggak ada peruntungan dan bakat punya istri cantik.” Tampak sekali kekecewaan di wajahnya. Hinaan itu sudah cukup membuatku paham kalau dia sama sekali tidak setuju dengan keputusanku. 
Aku hanya diam. Bukan hanya dia, aku juga sedih harus mengambil keputusan itu. Tapi bagiku janji adalah hutang dan aku tidak akan bisa membayarnya kecuali dengan memenuhi janji itu. Pun aku juga tidak bisa menggantinya dengan uang atau apapun juga.
Di tengah kekalutanku aku menerima telepon. Dari Salwa. Kebetulan sekali. Padahal aku ingin sekali menelponnya ee..sudah keduluan. Panjang umur, batinku.
“Mas Rahman, gimana kabarnya? Alhamdulilah saya baik-baik.”
“Alhamdulilah aku juga sehat-sehat. “
“Gimana kuliahnya? Lancar kan? “
Duh, rasanya senang sekali mendengar dia menanyakan hal itu. Ternyata diam-diam dia perhatian juga padaku.
“Alhamdulilah semua lancar dan berjalan seperti yang diharapkan. Kabar rumah gimana ?”
Aku tidak segera mendengar jawaban.
“Kacau Mas.”
“Kacau bagaimana?“ aku mencoba meminta penjelasan.
“Ayahku Mas. Ayah membuat keputusan sepihak. Bulan depan aku harus nikah dengan calonnya ayah. Dia bekerja di kantor yang sama dengan ayah. Semua sudah dipersiapkan. Aku tidak punya pilihan Mas. Undangan sudah beredar tanpa sepengetahuanku.”
Seperti disambar gledek aku berteriak.
“Appaaaa? Mengapa bisa begitu. ‘Kan kuliahku tinggal tiga bulan lagi. Apa susahnya menunggu tiga bulan?”
“Iya Mas, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi ayah berdalih, tiga bulan itu kalau Mas lulus, lha kalau nggak lulus dan  harus molor, belum lagi kalau Mas kecanthol teman kuliah, begitu kata ayah.“
Suara di seberang semakin lama semakin terdengar pelan di telingaku. Aku tidak peduli apa yang dikatakannya selanjutnya, kepalaku mendadak pusing. Semua terlihat semakin gelap karena mataku berkunang-kunang. Selanjutnya kurebahkan diriku di kasur sebelum aku jatuh tersungkur tanpa ada seorang pun yang menolongku.
“Halo…halo…Mas Rahman…Mas… kau masih di situ? Halo…halo…” masih terdengar suara di seberang. Perlahan-lahan HP kulepaskan dari genggamanku. Kuselimuti tubuhku dari ujung kaki sampai ujung rambut dan kudekap kepalaku demi mengurangi rasa sakitnya. HP masih berbunyi. Sayup-sayup masih kudengar suara panik Salwa.

-----ooOoo-----


Jumat, 09 Desember 2011

Film yang buat aku menangis

RESENSI FILM TURTLES CAN FLY


Directed by     :   Bahman Ghobaldi
Produced by    :   Babak Amini, Hamid Ghobadi, Hamid Ghavami, Bahman Ghobaldi
Written by       :   Bahman Ghobaldi
Starring           :   Soran Ebrahim (as Satellite)
    Avaz Latif (as Agrin)
    Hiresh Feysal Rahman (as Hengov)
    Abdol Rahman Karim (as Rega)
Distributed by :   IFC Films (USA)
Release date    :   September 10, 2004
Running time  :   95 min
Country           :  Iran
 Language       :  Kurdish

Barangkali banyak yang sudah melihat film ini. Bagi yang sudah melihat aku yakin akan sepakat denganku kalau film ini sangat mengharukan dan menyesakkan dada.
SINOPSIS
Menceritakan penderitaan anak-anak Suku Kurdi korban kekejaman tentara Saddam Hussein.  Film ini dibuat oleh orang Iran yang seorang Kurdi, bersetting di Kamp Pengungsi Suku Kurdi di Perbatasan Irak-Turki.  Tokoh utamanya seorang anak laki-laki berusia 13 tahun bernama Satellite (Soran Ebrahim) yang terkenal dan berpengaruh di kalangan anak-anak. Dia terkenal karena dialah yg memimpin anak-anak itu  bekerja membersihkan ranjau darat  walaupun kadang-kadang dia membohongi mereka. Selain itu Satellite  juga dikenal piawai memasang instalasi antena radio dan televisi. Alat komunikasi itu begitu pentingnya karena mereka yang ada d kamp itu ingin memperoleh informasi tentang Saddam Hussein yang sangat mereka benci , George W Bush dan apakah perang akan terjadi.

Suatu ketika, saat ia memasang antena, seorang gadis muda menghampirnya. Gadis itu bernama Agrin, tokoh utama lainnya,  diperankan Avaz Latif,  meminta tali yang dia butuhkan.  Satellite jatuh cinta pada pandangan pertama (bumbu cinta tetap aja ada di film yang sebagian besar pemerannya anak-anak ini, hehehe). Agrin datang ke kamp itu dengan kakak laki-lakinya yang cacat bernama Hengov, yang kedua tangannya putus  akibat ranjau darat dan seorang bayi laki-laki, berusia 1 tahunan bernama Rega yang matanya buta.  

Agrin tidak pernah menanggapi perasaan Satellite.  Meskipun laki-laki itu selalu berusaha menunjukkan perhatiannya pada gadis itu, tidak saja dengan memberikan tali secara cuma-cuma tapi juga membacawakan gadis itu  air ke kamp pengungsiannya, memberinya masker anti gas beracun bahkan mengorbankan  dirinya hingga harus terkena ranjau darat saat menolong Rega bayi 1 tahun –an itu. Rupanya sikap dingin Agrin bukan tanpa alasan. Gadis kecil itu menyimpan derita luar biasa. Rega sebenarnya bukan adiknya, melainkan anak kandungnya buah dari perkosaan yang dilakukan tentara Saddam di sebuah kubangan sesaat setelah para tentara itu membunuh kedua orang tuanya.

Film ini syarat dengan adegan memilukan dan menguras air mata.  Bagaimana Hengov  yang cacat bekerja menjinakkan sekaligus membersihkan ranjau,  menggendong dengan cekatan Rega walaupun tanpa tangan bahkan berusaha menunjukkan rasa sayangnya pada bayi malang itu dengan segala keterbatasan dirinya.  Dikisahkan dalam film ini   Rega yang sangat cerdas, imut juga  lucu tidak memperoleh cinta ibunya karena ibunya depresi, trauma dan tertekan menanggung beban psikologis yang sangat berat akibat pelecehan seksual pada usianya yang masih kanak-kanak.

Dalam kekecewaan dan keputusasaannya, Agrin sering meminta Hengov untuk segera pergi dari tempat itu dan meninggalkan Rega sendirian di kamp itu dengan harapan seseorang akan menemukannya yg tentu saja ditolak oleh Hengov. Tidak berhenti sampai di situ,  Agrin yang putus asa dan tidak sanggup menanggung aib, hamil akibat perkosaan, berusaha membunuh anaknya itu dan bunuh diri setelahnya, tapi  upaya itu selalu gagal.

Sementara tentara AS telah datang dan berkeliaran dengan leluasa di tempat itu.  Hengov yang punya indra keenam mempunyai firasat yang tidak baik bahwa  telah terjadi sesuatu dengan Agrin dan Rega. Dia pun berlari kesana- kemari. Apakah ia akan menemukan adik kandung dan keponakan yang sangat disayanginya itu ?

Kelebihan
Dengan sangat bagus film ini menyampaikan pesan kemanusiaan bahwa anak-anaklah yang menjadi korban dalam setiap peperangan. Para pemerannya yang sangat menjiwai  seolah tidak sedang berakting melainkan sedang menjalani peran pada kehidupan nyata anak-anak pengungsi yang berjuang mempertaruhkan tubuh dan nyawa mereka membersihkan ranjau darat demi sekeping dinar yang tidak sebanding dengan perjuangan mereka.

Kekurangan
Film ini harusnya menjadi film anak-anak namun kurang mendidik untuk anak-anak karena bukannya semangat menjalani kehidupan dengan sabar yang ditunjukkan namun  justru keputusasaan yang ditonjolkan. Sisi keimanan dan kehidupan muslim yang indah yang seharusnya menjadi ciri khas budaya di Timur Tengah sama sekali tidak disentuh sehingga menjadikan film ini ‘gersang’ dan ‘hampa’ dari nilai-nilai religius.  Film ini juga seolah-olah mendukung invasi militer AS di Iraq yg ditunjukkan dengan adegan pasukan AS dari atas pesawat menyebarkan selebaran kalau AS penolong mereka telah datang.

*******
Melihat film seperti ini aku selalu berdoa suatu  hari nanti ada film serupa yang menunjukkan penderitaan rakyat Palestina. Biar mata dunia terbuka lebar bahwa telah terjadi kebiadaban terhadap manusia dan nilai-nilai kemanusiaan telah diinjak-injak di belahan lain bumi ini. Jika mereka sentimen terhadap agama setidaknya mereka tidak sentimen terhadap isu hak asasi manusia yang harus dijaga dan dihormati.