Aku hamil lagi ketika Faza berusia
15 bulan. Sudah terbayang betapa akan repotnya nanti. Senang campur sedih, senangnya diberi amanah lagi sama Allah SWT mumpung usiaku masih muda, sedih karena aku harus menghentikan asiku untuk kakaknya. Aku yang sejak awal ingin
mengurus anak sendiri, tanpa pembantu rumah tangga, berpikir untuk menitipkan
bayiku ketika dia lahir kelak setelah masa cutiku usai. Aku memang tidak ingin merepotkan Ibu yang
menurutku sudah terlalu lama ‘menderita’ membesarkan anak-anaknya. Karena ibuku
single parent dengan tiga orang anak dan aku anak kedua.
Begitu bayiku lahir, perempuan,
kuberi nama Naura, aku sudah mempunyai gambaran tentang tempat penitipan yang
akan kuhubungi kalau cuti persalinanku selesai. Namun ibuku tidak sampai hati
melihat bayiku yang masih berusia 3 bulan dititipkan. Akhirnya beliau yang
merawatnya, karena aku memang tidak memiliki Asisten Rumah Tangga. Sampai
ketika bayiku berumur 6 bulan, aku merayu ibuku lagi untuk menitipkannya. Bukan
apa-apa, kata adikku, yang tinggal serumah, Ibu sering mengeluh kecapekan. Aku
menyadari semua itu, snagat menyadari, karena saat libur aku juga nyaris kurang
tidur dan kurang istirahat karena urus bayi dan rumah, juga suami dan anakku
yang lain.
Akhirnya bayiku kutitipkan. Aku
memulai kerumitan baru. Karena pas berangkat, jam 7 pagi kurang 15 menit,
semuanya harus dalam kondisi beres. Bayiku sudah mandi, bekal asinya siap,
kakaknya juga sudah siap ke sekolah dengan bekal baju yang sudah disetrika dan
bekal snack. Bekal makan pagi dan makan siang untukku dan untuk suamiku juga
sudah harus siap. Kadang-kadang aku bangun jam 3 pagi saja aku masih terlambat
datang ke kantor, walau hanya 5 atau 10 menit kan tetap saja terlambat.
Biasanya hal itu disebabkan anakku rewel sehingga ‘proses menyelesaikan tugas
pagi’ terhambat dan tertunda beberapa menit. Karena pengalaman itu jugalah aku
bertekad agar aku tidak merepotkan ibuku, semua akan kuurus sendiri semampuku.
Aku ingin ibuku menikmati masa tuanya de ngan beribadah dan tidak dibebani
momong cucu. Dulu sebelum aku punya bayi, ibuku sering khatam Al Quran dalam
waktu 5 hari, padahal kecepatan bacanya, ibarat orang naik sepeda motor 10 km
per jam. Tapi aku melihat kebahagiaan di wajah ibuku ketika beliau punya waktu
lebih banyak untuk beribadah. Setiap detik waktunya ia manfaatkan
sebaik-baiknya untuk dzikir, baca Al Qur’an, mendengarkan video pengajian,
sedikit tidur di malam hari, dan lebih banyak istirahat di siang hari. Aku
ingin bisa memberi ibu waktu lebih banyak untuk beribadah dengan tidak
membebaninya momong bayiku. Begitulah satu-satunya cara membuat ibuku bahagia,
begitu pikirku. Namun yang terjadi tidak seperti yang kuharapkan. Satu minggu
setelah dititipkan, bayiku sakit dan harus diopname di rumah sakit. Dia diare,
dan kadang-kadang muntah.
Setelah bayiku opname, sudah bisa
diduga dampaknya, ibuku melarangku menitipkan Naura di tempat penitipan.
Akhirnya kembalilah ia dalam asuhan ibuku. Dan rutinitas ibuku sebelumnya yang
membuatnya bahagia, beribadah, harus berganti dengan keribetan mengurus bayi.
Iya aku sadar, bayiku adalah cucunya, tapi sungguh aku ingin bisa maksimal
mengurusnya sendiri tanpa mengesampingkan pekerjaan dan rumah dan tanpa
pembantu. Memang sangat idealis dan sedikit berlebihan, tapi itulah yang terus
kuupayakan. Harus kuakui, bayiku sedikit montok dan bertambah pintar dalam
asuhan neneknya yang selalu aktif mengajaknya bicara dan bercanda.
Genap berusia 9 bulan, aku kembali
merayu ibuku untuk menitipkan bayiku. Aku bujuk ibu agar merelakan Naura diasuh
Bu Guru di tempat penitipan dengan kuajak ke rumah Bu Gurunya. Kupertemukan
dengan guru pengasuhnya, apa yang diinginkan ibu dan apakah dia bisa memenuhinya.
Setelah bertemu Bu Guru itu ibuku lalu mantap dan mengijinkan bayiku dititipkan
kembali.
Kali ini di luar dugaan. Bayiku
rewel setiap kali mau berangkat ke tempat penitipan. Di tempat penitipan
badannya panas. Dan sembuh ketika kubawa pulang. Ada perubahan drastis lainnya.
Ia jarang mau tersenyum dan menatapku dengan tatapan yang aneh seakan marah
padaku karena membiarkannya diasuh oleh orang yang tidak dikenalnya. Susah
payah aku merayunya agar mau tersenyum. Kalaupun mau hanya sebentar lalu menatapku
dengan tatapan orang asing. Hatiku seperti tertohok. Dia masih bayi tapi aku
bisa melihat pesan kemarahan di matanya. Padahal baru tiga hari dia di tempat
penitipan. Sepertinya perasaannya begitu menderita di tempat penitipan. Aku
tahu Bu Guru pengasuhnya semua sabar dan sayang anak kecil, tapi dia sepertinya
belum terbiasa diasuh orang lain, apalagi orang yang baru pertama kali
dilihatnya. Hari keempat panasnya tinggi sehingga tidak kutitipkan. Ibuku tahu
karena kebetulan sedang main ke rumah, rumah kami hanya berjarah 200 meter
saja. Seperti sebelumnya kali ini Ibu memintaku agar berhenti berusaha
menitipkannya. OK, aku mengiyakan dan konsekuensinya membiarkan ibuku
merawatnya dengan himpitan perasaan tidak nyamanku, tapi tidak apa-apa, toh Ibuku
juga neneknya dan anakku kelihatan snagat bahagia dalam asuhan orang yang dekat
dengannya.
Rupanya bayiku stress. Setelah tidak
di tempat penitipan, dia tidak pernah panas di siang hari. Namun butuh waktu
satu minggu untuk mengembalikan keceriaannya yang dulu. Rupanya waktu tiga hari
di tempat penitipan membuatnya sangat tertekan dan tidak bahagia. Setelah satu minggu ia
kembali menatapku dengan senyum dan tidak terlihat lagi tatapan marahnya.
Alhamdulilah, ternyata masing-masing anak itu mempunyai keunikan dan
pembawaannya sendiri. Bayiku rupanya tidak mau diasuh orang lain, ia maunya
diasuh neneknya yang kusadari teramat sayang padanya. Namun ada pelajaran
berharga yang bisa kuambil, mungkin lain kali kalau menitipkan bayi, beri dia
waktu untuk mengenal orang yang mengasuhnya. Jadi tekniknya, titipkan
perlahan-lahan, bertahap, misalnya hari ini 1 jam, besok 2 jam, lusa 3 jam,
sampai ia benar-benar merasa nyaman dengan orang yang mengasuhnya.